Selasa, 19 April 2011

KASIH TAK TERLERAI

KASIH TAK TERLERAI
Oleh: Lailatul Rosyidah (siswi MAN Keboan)
Disuatu desa terdapat sebuah keluarga yang keadaan okonominya masih tergolong dalam standar sederhana. Keluarga tersebut seakan tidak rela jika ada waktu tanpa adanya pekerjaan. Semua waktu mereka selalu dibelenggu dengan pekerjaan yang melilit kehidupan mereka, bahkan hampir tiada waktu untuk menyenangkan hati mereka sendiri.
Asti widya sari, siswa kelas sebelas Madrasah Aliyah Negri yang kian merasakan kegerahan hati karena nasib yang ia rasakan saat ini. Duduk termenung di dalam ruangan petak yang dihiasi lampu kuning sepuluh watt, merenungi nasib yang menimpanya saat ini, tergolek lemas menyandarkan tubuhnya di samping meja belajar yang senantiasa menemaninya. Sering kali terlintas di hatinya akan semangat menggebu untuk merubah nasibnya yang seperti ia rasakan saat ini. Tapi terkadang rasa putus asa menghalangi angan-angannya. Tertulis seucap doa dalam buku diarynya…….
“Ya Allah……. Akankan hidup hamba-Mu selalu seperti ini Ya Allah….?? Selalu dirundung rasa kurang mampu……. Apakah hambamu ini selalu kurang puas akan kasih sayang orang tua hamba ini Ya Allah…..???.
Tak terasa butiran- butiran hangat membasahi pipi mungilnya hingga tetesan air mata lugunya sampai jatuh mmbasahi diarynya. Di lain waktu ia berusaha menepisnya dengan kata-kata penyemangat yang sengaja ia buat sendiri untuk menenangkan hatinya.
“Hmm…….. Asti…. Jangan cengeng gini dong…. Kamu harus kuat menghadapi semua ini, anggap saja semua ini adalah ujian untuk kamu……”
Sungguh berat dirasa…….. memang Asti adalah anak orang yang sederhana, tapi rasa manja terhadap orang tua, terutama pada ibunya amatlah besar. Bahkan ia sering kali tak rela perhatian ibunya berpaling pada orang lain meskipun itu keponakannya sendiri.
Bu Hasanah adalah ibu Asti yang sehari – harinya bekerja sebagai penjual di sebuah toko, beliau juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehingga tak banyak waktu beliau barcanda gurau bersama Asti . Asti adalah anak tunggal dalam keluarganya. Pak Dhani, ayah Asti bekerja sebagai karyawan pada sebuah pabrik yang pulang satu bulan sekali.
Suatu hari Asti membantu ibunya untuk memasak. Kemudian sang ibu berkata
“Asti…… majikan ibu memerlukan seseorang yang bisa mengajari anaknya dalam belajar dirumah, anaknya masih SD, jadi kamu pasti tidak merasa kesulitan karenanya. Nah sekarang tinggal kamu saja mau apa tidak…???”.
“Asti sih mau –mau saja bu…..”
Tapi dalam hati Asti penuh pengharapan bahwa dengan ia membantu ibunya bekerja disana, ibunya bisa lebih mempunyai waktu luang untuk mereka. Tapi angan-angan Asti terputus dengan……………
“Dan juga, mungkin kalau kamu menyetujuinya, mbak Dilla, anak majikan ibu itu akan kesini sore ini juga…… dan mungkin akan tinggal disini untuk sementara waktu dalam menghadapi semester tahun ini.”
“Ha…….??? Apa bu………..????”.
“iya…… nanti biar ibu bilang sama majikan ibu sore ini juga.”
Hati Asti seakan luntur tak tersisa……. Dangan cepat ia segera menyelesaikan pekerjaan yang ia lakukan tadi dan langsung bergegas ke kamarnya. Hanya sehelai sapu tangan pemberian ibunya dan buku diarynyalah yang menjadi sahabat setianya. Kembali ia menulis isi hatinya.
“Ya Allah…….. pupus sudah harapanku untuk mengembalikan kasih sayang ibu kepada kami yang akhir – akhir ini sempat pudar. Tapi…….. apa jadinya………??? Malah harus ada orang lain di tengah-tengah keluarga kami……. Memang kami ingin mencari nafkah yang halal, tapi bukan begini caranya ya Allah……. Haruskah kami menggadaikan kasih sayang kami yang kian lama kami rakit bersama…… Haruskah Ya Allah……. Haruskah………???”
Tetesan air mata semakin deras dan tak kuasa ia menahannya. Kesedihan yang begitu mendalam yang tengah ia rasakan hari ini….. seakan ia tak kuasa menerima beban seberat ini. Tapi apalah daya, hanya tangisan yang dapat ia lampiaskan. Ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kebahagiaan ibunya adalah nomor satu baginya. Biarlah beban ini ia tanggung asal adik dan ibunya masih dpat merasakan kebahagiaan yang terselimuti dalamnya duka yang ia rasakan.
Sore kian larut, seorang gadis yang mereka tunggu tiba. Dengan sangat berat ia harus memperlihatkan senyuman diwajahnya. Ternyata, bukan hanya suatu kesedihan, tapi juga rasa khawatir melihat kasih sayang ibunya kepada gadis itu.
Hari demi hari terlewati. Setiap malam ia marasa sepi tanpa ada yang mengisi ruang hatinya. Hanya sapu tangan pemberian ibunya yang ia perhatikan. Sesaat kemudian Dilla menghampirinya.“Mbak…….. sedang apa ? kok disini sendiri ?”.
“Oh….. nggak…., aku Cuma ingin sendiri saja.”
“tapi kok mbak nangis…… mbak nangis karena kehadiranku disini ya…..?.”
“Nggak kok….. mbak cuma ada sedikit masalah saja.”
“O…… udah mbak….. jangan nangis, kata bu guru, masalah itu tidak dapat diselesaikan dengan tangisan, tapi harus ada usaha untuk menyelesaikannya.”
“Iya….. aku tau kok, udah….. sekarang ambil bukunya, belajarnya sekarang saja ya….. soalnya nanti malam mbak banyak tugas.”
Setiap hari itulah aktivitas rutin mereka, hingga hati Asti terbuka bahwa sebenarnya Dilla itu anak yang baik. Tak sepantasnya ia berprasangka buruk seperti itu. Hari haripun berlalu, semakin Asti mengenal gadis kecil itu, semakin ia menganggapnya sebagai adiknya sendiri. Hingga pada sore itu
“Mbak…… kyaknya tadi ada yang nyari’in deh…….”
“Mencariku ? siapa ?
“Nggak tau, tapi kalau nggak salah dengar namanya Arfa. Hayo……siapa tuh……….??” Pacarnya ya mbak……?.
“Ach…… bukan, apa sih……. Sok tau bangetz….”
“Alah……. Ngaku aja mbak, ntar kalau nggak ngaku, aku ambil lo pacarnya…..”
“Apaan sih……….. masih kecil juga.”“Tuh…. Kan, wajahnya merah gitu.”
Hingga mereka bercanda bahagia. Asti merasakan bahwa hatinya tidak keberatan lagi atas kehadiran Dilla di keluarganya. Bahkan dimanapun Asti berada pasti ada Dilla disana. Akhirnya dengan berjalannya waktu, Asti dapat menerima kehadiran Dilla dalam keluarganya. Dilla juga demikian, ia tidak ingin kebersamaan dengan Asti dipisah karena berjalannya waktu. Mereka berdua sangat kompak dalam bertindak dan tiada lagi oerasaan sepi dalam hari – hari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar