Selasa, 19 April 2011

MISTERI BUKIT ANDOLA

MISTERI BUKIT ANDOLA
Oleh : Lailatul Rosyidah
Didalam kelas tang redup dan berdindingkan bamboo, terdapat tiga anak yang mempunyai jiwa imajinasi yang tinggi. Mereka adalah Halim, Syah dan Ridwan. Suatu ketika mereka menemukan sebuah buku tua diantara tumpukan – tumpukan buku yang ada di samping kelas mereka yang bertuliskan “Rahasia bukit Andola”. Mereka sangat tertarik dengan buku itu, hingga mereka membacanya dan menemukan secarik kertas didalam buku yang berisikan tentang peta letak bukit Andola tersebut. Tanpa berfikir panjang mereka berencana mencari letak tempat misterius itu, apalagi yang pernah mereka dengar bahwa bukit Andola merupakan bukit terlarang dan tidak adaa seorangpun yang berani ke tempat itu. Setelah menelusuri jalan setapak, akhirnya mereka menemukan letak bukit tersebut. Ternyata letak bukit tersebut tidak jauh dari sekolah mereka.
Sore itu Halim, Syah dan Ridwan mendatangi kembali bukit itu, suasana yang mistis dengan jelas mereka rasakan, sehingga mereka lebih penasaran terhadap apa yang mereka rasakan saat itu. Diatas bukit itu terdapat sebuah goa tua yang mulutnya sudah dipenuhi batuan – batuan yang dilapisi lumut. Didalam goa tersebut terdapat berbagai macam benda yang sudah tidak terpakai lagi.
“ aneh…. Aku kira goa ini sudah sangat tua, tetapi kelihatannya masih terjamah orang “ kata Halim
“ Ah…. Jangan sok detektif kamu Lim, dari mana kamu tau ?”. Tanya Syah
“ Kalian tidak lihat, benda – benda seperti almari, meja disini kan merupakan benda modern. Tidak mungkin jika benda – banda ini sudah ada berpuluh – puluh tahun yang lalu, pastilah ada seseorang yang telah membawanya kesini.”
Kemudian mereka meneruskan perjalanan untuk menelusuri goa itu lebih dalam. Setelah mereka sampai di lorong yang kedua, mereka melihat katrol yang tertata rapid an tiba – tiba mereka bertemu dengan sesosok laki – laki tua yang mengaku dirinya adalah penjaga goa itu.
“ Ada perlu apa kalian kemari ?” kalau kalian ingin selamat, lebih baik kalian tinggalkan goa ini. Di goa ini banyak hal – hal yang dapat membahayakan kalian.”
“Ba….ba….baik pak”
“ Hemm….. bagus, sekarang kalian cepat pulang, hari sudah mulai gelap. Lorong keluar ada disebelah sana”
Dengan segera mereka bergegas untuk pulang. Tapi dihati mereka masih terselip berbagai pertanyaan yang membuat hati mereka menjadi lebih penasaran.
“Lim, Syah….. gimana nih….. masak penelusuran kita harus usai begitu saja”
“oh….. tentu tidak, apakah kalian percaya dengan kata – kata bapak tua yang tadi ?”
“ Kalau aku sih antara percaya nggak percaya” kata Syah ragu – ragu.
“ seratus persen aku nggak percaya. Hey…. Kita bukan anak kecil sob….. masak ditempat terpencil seperti itu ada penjaganya segala. Apa gunanya coba….?”
“ benar juga apa katamu Lim….. lantas…..?”
“ Kita teruskan saja penelusuran kita besok, setuju…?” Usul Ridwan
“Oke….. aku setuju, kamu gimana Lim….?” sahut Syah
“Aku…..Aku……. setuju juga deh…..”
Hingga saat itu setiap sore mereka mendatangi tempat itu hingga mereka menemukan sebuah peti yang berisi berlian dan suara gamelan yang diikuti suara kereta api yang sedang melaju.
“Sssrrrkkk…..Sssrrrkkk….Sssrrrkkk…..”
“Suara apa itu…?.”
“Seperti suara kereta api yang sedang melaju.”
“Hah….? Kamu ini ada-ada saja, mana ada kereta dalam goa kaya’ gini.”
“Benar kamu Lim, seperti suara kereta api yang seng melaju. Tapi ini aneh, didalam goa terpencil seperti ini ada suara kereta api.”
“Emm….. kalian ngigau kali…. Aku aja nggak denger apa-apa, tapi…..”
“Tapia pa Wan….?.”
“Jangan bilang kalau…..” kata Halim ketakutan,
“Kalian denger sesuatu nggak…..?.”
“ Loe apaan sih Wan ? bikin gue takut aja.”
“Emmm….. emang dasar loenya aja yang penakut. Tapi beneran loe denger sesuatu Wan…?” kata Syah serius.
“Yach….. seperti suara gamelan di arah sini….” Kata Ridwan sambil berjalan kea rah yang di maksud/
Sementara itu Halim berjalan di dekat tetesan air yang tidak lain adalah darah.
“Wan, Syah….. ada darah di sini.”
Dengan adanya misteri-misteri yang terjadi, mereka mengakhiri penelusuran pada hari itu dengan beribu-ribu tanda Tanya yang berkecamuk dihati mereka.
Sore ketiga mereka kembali mendatangi goa tersebut dengan perasaan serba penasaran hingga meneruskan penelusuran ke salah satu pelosok dari goa tersebut yang merupakan pintu menuju rumah tua yang seakan-akan dikelilingi oleh hutan.
“Lim…. Lihat, apa itu…”
“Bayangan seorang wanita yang misterius, siapa dia ?.”
“Mungkin…. Dia yang bernama putrid Andola.” Sahut Syah.
Seketika itu pula mereka kembali berjumpa dengan pak Seto di depan rumah tua dalam goa misterius itu.
“Mau apa lagi kalian kemari ?.”
Kemudian pak Seto langsung meninggalkan mereka dengan kesal. Tanpa berfikir panjang mereka memberanikan diri untuk membuka rumah tua yang selama ini membuat hati mereka dirundung rasa penasaran. Ketika pintu rumah tua mulai terbuka mereka mencium aroma amis dan busuk. Disana pula mereka menemukan rekaman dentuman gamelan dan alat pembuat bayangan yang tertata rapid dan aktif dalam waktu-waktu yang telah di atur pula.
Ketika Syah membuka jendela di rumah itu, ia melihat sebuah gerbang, rel kereta api dengan kereta api yang melaju di sana. Yang membuat ia terengah melihatnya karena kereta api tersebut bertuliskan “Illegal diamond business”.
“Sudah kuduga, semua ini hanyalah akal-akalan belaka, mana ada sih… hal mistis di jaman modern kayak gini.”
“Apa maksudmu Syah…?.”
“Kalian tau bungkusan darah binatang di peti sebelah sana ?.” sambil menunjuk sebuah peti yang ada di pojok rumah tersebut.
“Darah binatang ?.” Tanya Ridwan sambil bergegas melihat isi peti yang di maksud Syah.
“Ha…..?? benar. Ini darah…”
“Bukankah kamu yang menemukan keberadaan darah di salah satu pelosok goa ini Lim ?.” Tanya Syah.
“Oh…. Ya, aku baru ingat. Dan rekaman ini berisi suara gamelan yang berfungsi untuk menyamarkan suara kereta yang melaju di area sini.” Detail Halim.
“Kamu benar juga Lim. Lantas untuk apa alat penyamar ini ?. apakah ada hubungannya dengan misteri ini ? atau……...”
“Atau untuk mengelabui kita dengan adanya bayangan hutan semu dan sesosok bayangan wanita.”
“Ternyata ada rahasia disini yang selama ini tidak kita ketahui.”
“Tapi untuk apa pak Seto menutupi semua ini ?.” Tanya Syah keheranan.
Tidak lama kemudian terdengar kereta yang sedang melaju dan keluarlah dua orang menyertai pak Seto mengeluarkan peti-peti dalam gerbang kereta yang berisi berlian.
“Tidak salah lagi…… ini merupakan siasat penyelundupan yang sangat rapi danterencana.” Cetus Ridwan.
“Baiklah Wan…… kamu dan Syah tetap pantau mereka dari sini, sementara aku akan melaporkan hal ini pada pihak yang berwajib.”
Tidak lama Halim bergegas keluar, sekelompok polisi datang dan menggrebek tempat itu. Dalang dari kasus itu adalah pak Seto yang di bantu oleh kedua kaki tangannya. Mereka telah di amankan polisi.
“Sungguh sangat rapi taktik mereka.” Ungkap Ridwan geram.
“Ah…. Sudahlah Wan. Semua ini sudah berakhir, toh…. Mereka pasti menerima ganjaran yang setimpal.” Jelas Syah.
“Ok…. Pengembaraan kita telah usai. Sekarang waktunya kita pulang sob, udah larut malam loh……”
Akhirnya mereka pulang bersama dengan membawa kebanggaan yang mereka capai bersama yakni mengungkapkan rahasia di balik bukit Andola.
THE END

DUA WANITA PEMBERANI

DUA WANITA PEMBERANI

Di sebuah desa terdapat sebuah keluarga yang beranggotakan 4 orang, mereka adalah pak Hasan, bu Fatimah dan kedua putrid kembarnya yakni Aisyah dan Assyifah. Aisyah adalah anak yang mempunyai karakter lemah lembut sedangkan Assyifah adalah anak yang manis dan lucu.
Setiap hari mereka selalu bersama dengan kegiatan yang sederhana yakni mengantarkan kue-kue manis buatan ibunya. Mereka sangat menikmati kehidupannya saat ini karena meskipun mereka hidup dengan tidak bergelimangan harta, mereka tidak kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.
Hari minggu adalah hari yang sangat indah bagi mereka. Setelah bangun mendengar alunan suara ayam pagi, mereka segera shalat dan lari pagi bersama, kemudian mereka pulang kerumah untuk mengambil makanan yang akan diantarkan pada ayahnya di sawah. Setelah pulang dari sawah mereka langsung mandi dan membantu ibunya di dapur untuk membuat kue, kue-kue itu akan dijual di toko-toko, baik yang berada di desa maupun di desa-desa sekitar. Pukul 12.00 semua kue telah masak dan di tata rapi di kotak kecil unuk diantarkan ke took langganan mereka. Mereka membagi tugas mengantarkan kue dengan adil.
Mereka kemudian kembali kerumah pukul 15.00. setelah shalat ashar mereka mengajar di TPQ Nurul Imam dan pulang setelah shalat maghrib. Setelah shalat mereka mengaji terlebih dahulu kemudian belajar bersama karena mereka tidak lain adalah satu kelas yakni di SMA Nuzulul Ilmi.
“Kak…. Hari ini sangat indah ya ?.” Kata Syifah pada kakaknya.
“Hmm….. iya, sampai kamu lupa makan kan ?.”
“Emm….. iya sih, abizz sibuk banget.”
Kemudian ibu Fatimah dating membawa kue yang enak – enak untuk anak – anaknya yang tersayang.
“Hayo…. Katanya belajar, kok malah ngerumpi.” Kata bu Fatimah sambil mengusap – usap rambut Syifah. Mereka sangat senang dengan perhatian yang diberikan oleh ibunya.
Perbincangan mereka usai setelah mendengar suara adzan isya’ yang melantun.
“Wah sudah isya’ tuh…. Kita shalat dulu yuk….!.” kata ayah memutuskan perbincanag mereka.
Setelah shalat isya’ mereka bergegas untuk kekamar dan segera tidur agar besok tidak bangun kesiangan.
“ku….ku….kukuruyuk…….” suara ayam berkokok mulai membelah pagi disertai lantunan adzan yang menggema.
“Aisyah…. Assyifah, bangun sayang…. Sudah subuh nak.” Ibu membangunkan sambil mengetuk – ngetuk pintu kamar mereka.
“Syifah…. Fah, bangun… sudah jam enam lo….” Bujuk Aisyah sambil tersenyum.
“Ha….. jam enam….” Syifah kaget dan segera ke kamar mandi.
“Ih….. kakak, kan baru subuh…..” kata Syifah geram.
Pagi yang cerah mulai bersinar, mereka berangkat sekolah dengan jalan kaki. Tidak lupa mereka juga membawa kue untuk di jual di kantin.
“Aisyah….. Syifah…..” teriak tudi temannya.
“Rudi, ada apa Rud…..?.” Tanya Aisyah sedikit heran.
“Kalian dipanggil pak Andi di kantor.” Kata Rudi dengan nafas terputus – putus.
Setelah Aisyah menaruh kue dikantin dan Assyifah menaruh tas mereka di kelas, mereka segera menemui pak Andi di kantor.
“Assalamualaikum” mereka serentak sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam. Eh.. kalian, kesini sebentar bapak mau bicara.”
“Begini, bapak mau mengikutkan kalian dalam program TMB (Terampil,Mandiri,dan Berani) se provinsi yang di laksanakan di Bali.Jadi kalian sekarang saya izinkan untuk pulang pagi dan minta izin pada orang tua dulu,ya!. kalian tidak usah membawa bekal karena.konsumsi kita tanggung.”Tutur Pak Andi.
”oh….iya pak,kita akan minta izin pada orang tua kami,tapi apa hanya kita berdua ?” kata Aisyah.
“oh…tidak,jangan khawatir, ada satu lagi teman kalian yakni Ima.”kata pak Andi.
”ya….sudah pak,kami pamit pulang .”kata Assyifah.
”Assalammu’alaikum.”Mereka mengucap salam bersama dan meninggalkan ruangan itu.Setelah mereka izin pada Pak Hasan dan Bu Fatimah mereka di jemput mobil merah milik Pak Andi.Di dalam ada Pak Andi,Bu Risky dan Ima.Mereka beruntung karena mendapatkan kamar tidak jauh dari kantor panitia, sehingga mereka mudah menangkap pengumuman.Setelah sholat isya’ mereka berdua sudah tidur sedangkan Ima masih diluar.
Hari Rabu adalah Hari yang pertama di sana.Setelah sholat shubuh mereka senam bersama dan bersiap - siap untuk penjelahan di hutan belakang.Setelah sarapan pagi mereka berangkat memulai penjelahan mereka. Dalam penjelajahan itu terdiri dari dua kelompok perempuan laki-laki agar laki-laki dapat melindungi perempuan ketika menjelajah di hutan.sekolah Ima satu kelompok dengan SMA Bahrul Islam yang terdiri dari tiga anak laki-laki yakni Fahrul,Iwan,dan Anto.Dan mereka di temani oleh Fahri yakni salah satu panitia muda sekaligus sepupu dari Fahrul,umurnya hampir sama.
Sampai di tengah hutan,ke tujuh pelajar itu menemukan sebuah batu basar yang bertulis jawa.Assyifah melihat sebuah rumah tua dan tanpa berfikir panjang,ia pergi sendiri menghampiri rumah itu ketika di bukannya pintu rumah,tiba-tiba….
“Aaaaa….”Teriak Assyifah.
“Syifah…”kemudian semua anak menghampirinya,”Syifah,ada apa.”Teriak Ima.
“Tidak, tidak ada apa-apa .”Kata Syifah gugup.
“Ini minum dulu biar nggak gugup gitu.”Kata Fahrul dengan menawarkan sebotol air putih di tangannya.
“Terimah.”Ucap Syifah
“Wah…hebat sekali kamu Syifah,dapat menemukan tempat misterius yang di maksud Kepala Panitia.”Kata Fahri keheranan.
“Apa ini?”Aisyah bertanya dengan membawa batu merah.
“Berkilauan, seperti batu merah delima.”Kata Iwan.
Setelah mereka mengamati begitu detail, mereka memutuskan untuk kembali ke tempat peristirahatan.
“Hmm…capek juga ya.”Kata Aisyah sambil duduk di teras depan bersama ke-6 temannya.
Setelah mereka sholat dhuhur, mereka makan bersama-sama, dari sejak itulah di antaraFahri dan Aisyah berkenalan lebih jauh.
“Kak…ada apa nih?”Sindir Assyifah.
“Emang ada apa?”Aisyah heran dengan tingkah adiknya.
“Ihh…ada apa sih, udah deh lebih baik kita berkemas- kemas sekarang, kan kita besok pulang.”Tutur Aisyah.
“Perhatian ….seluruh peserta lomba TMB diharap berkumpul di lapangan.”suara keras terdengar dari microfon.
Semua anak berkumpul di lapangan.Mereka berharap agar menjadi pemenang dalam TMB tahun ini. Karena pemenangnya akan di kirim untuk lomba TMBP (Terampil,Mandiri,dan Berani antar Provinsi).
“Asslamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.”Ucap seorang wanita pembuka acara mengawali acara pada siang hari itu.
“Anak-anak yang saya banggakan.semua kerja keras kalian kemarin sangatlah bagus,ibu terkesan sekali.”
Semua anak sangat cemas mendengar tutur kata ibu Ida.
“Pemenang Program Lomba Tahun ini adalah
………………………………………………
SMA Bahrul Islam Nuzulul Ilmi.”
“Alhammudillah”Aisyah dan Assyifah serentak.
Aisyah sangat gembira dan memberitahukan hal ini kepada orang tua mereka.
Sejak Aisyah kenal sama pemuda yang bernama Fahri,ia jadi sosok anak yang berbeda ia sedikit cuek sama teman-temannya,tapi tidak umtuk adiknnya.Aisyah seperti orang lain dimata temannya.
Hari-hari pun berlalu ketika akan ujian, Aisyah sudah diperingatkan adiknya untuk tidak melamun lagi. Aisyah juga bingung apa yang terjadi pada dirinya. Dia merasa bahwa ia tidak akan menemukan pemuda sebaik Fahri. Seolah – olah Fahri adalah sosok pemuda yang tiba-tiba datang dalam kepolosan wajah muslimahnya.
“Kak…. Ujian tinggal satu hari lagi, please, jangan gini terus…..” tutur Syifah.
Assyifah merasa kasihan terhadap kakaknya yang bisa dibilang lagi “first love”itu. Padahal rasa itu bukanlah muncul secara angsung, melainkan diawali dari rasa kagum yang lebih besar.
Hari – hari berjalan dengan cepat, Aisyah dan Assyifah telah selesai melaksanakan Ujian Nasional. Mereka sekarang tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Akhirnya hari yang dinanti – nanti tiba, selebaran kertas yang berisi nama dan kelulusan mereka terpampang jelas di madding sekolah. Aisyah dan Syifah juga tidak mau ketinggalan informasi.
“Alhamdulillah, kak…. Nilai danunku hampir sempurna….”
“Fah…… nilaiku fah…….” Ucap Aisyah dengan mata berkaca- kaca.
“Kak…… kakak tidak apa – apa ?.” Tanya Syifah yang melihat kakaknya lemas tak berdaya melihat nilai ujiannya yang cukup jeblok itu.
“Sudahlah kak, Alhamdulillah kakak masih meraih danun seperti itu, masih banyak kok teman-teman yang ada dibawah danun kakak…. Anggaplah ini sebagai pelajaran buat kakak karena sering melamun tidak jelas seperti kemarin.” Tutur Syifah.
Setelah pengumuman ujian usai, mereka segera mendaftarkan diri ke Universitas yang mereka pilih. Ketika mendaftar Syifah melihat pemuda yang bisa dibilang lumayan tampan.
“kak….. lihat tuh….”
“Apa sih ? Eh….. udah, udah jangan dilihat lagi…. Kamu mau kegagalan menimpamu saat ini ?.”
“He…he…. Nggak juga sih…. Ya udah deh, aku nggak lihat tapi kalau ngintip nggak apa-apa kan….?.”
“Hmm…… kamu itu ada – ada aja…. Udah ach… ayo cepat masuk, sepertinya sekarang giliran kita.”
“Oc dech…… asal nggak kakak aja yang gantian lihatin dia.”
“Eh….. kamu ya…..”
Hingga pada akhirnya mereka menyadari bahwa kehidupan bukanlah berjalan seperti air mengalir. Karena air yang mengalir pasti selalu menuju ketempat yang lebih rendah, sedangkan kita hidup bertujuan untuk mencapai kejayaan yang tinggi. Oleh sebab iti hidup itu lebih baik di bilang seperti layang – layang. Sewaktu-waktu dapat terbang tinggi, terombang ambing, terbang lurus bahkan juga bisa jatuh.

THE BEST PERSAMI

THE BEST PERSAMI
Oleh : Lailatul Rosyidah
Matahari bersemangat menyinari bumi yang mulai gersang. Semilir angin, panas, kering, tandus, itulah yang mereka rasakan. Sejenak Husna merasakan keteduhan dihatinya melihat semua teman-temannya mempersiapkan peralatan MOS untuk sekolah barunya.
“Besok waktunya Persami. Semoga saja berjalan lancar meskipun panas gini cuacanya.” Bergemang di bawah pohon cemara, menikmati cuaca yang panas diterpa semilir angin yang berhembus.
“Hey … Na. Ngapain lho …?”
“Eh … lho Ra … nggak, ini lho besok Persami?”
“E … hem, males banget aku pake’ persami-persami segala.”
“Iya sih … aku juga males bangets … ya … mau gimana lagi, kerjain aja dech …”
“Yo’i … paling cuma sehari”
“Eh … pulang yuk! Aku laper …”
Fira dan Husna memang berteman akrab. Tapi sayang mereka tidak satu sekolah lagi. Karena tekanan batin tersebut. Husna dan Fira adalah anak yang super aktif. Mereka sejak taman kanak-kanak sudah bersama. Wajar jika SMA ini mereka belum rela untuk berpisah.
Ayam jantan mulai mendendangkan lagu-lagunya. Sejenak Husna membuka matanya. Memulai aktivitasnya dengan penuh semangat.
“Ya … aku harus semangat ke sekolah baruku, aku harus bisa berbagi cerita dengannya, walaupun untuk … yang terakhir kalinya.”
Setelah Husna menyelesaikan urusannya, ia langsung pulang sampai di rumah ternyata Fira sudah menunggu di depan pintu rumah Husna. Dengan membawa tas besar berisi pakaian dan perlengkapan lainnya, wajah sayup-sayup.
“Cha … thanks buat semua …”
Tak kuasa menahan air matanya, semakin deras dan akhirnya mereka berpelukan.
“Ra … mengapa kamu tidak sekolah bersamaku saja?”
“Sudah … kita harus mandiri, kapan kita mandiri kalau kita begini terus?”
Setelah Fira berpamitan, ia pun berangkat bersama pamannya. Air matanya terus menganak sungai. Begitu pula dengan Husna. Baginya adalah friend is a valuable in her live.
Sinar matahari menerobos semangat Husna. Setelah berbenah, Ia langsung bergegas ke kebun, di bawah pohon cemara ia duduk termenung, mengingat masa-masa bersama Fira.
“Ra … kamu disana sedang apa? Apa perasaanmu sepertiku?”
Serentak Husna mengingat bahwa nanti sore ia harus ikut persami. Tak lama ia berbenah-benah, ia langsung berangkat dan sepuluh menit kemudian apel pembukaan persami dilaksanakan.
Setelah shalat, Ia dan teman-teman barunya melaksanakan aktivitas-aktivitas persami. Pendiam, pemurung, pelamun, itulah sosok Husna yang sekarang. Hingga akhirnya acara renungan malam tiba. Dalam acara itu Ia menemukan seorang teman, ia baik, rajin, dan pengertian. Ia sering membantunya, apapun itu. Husna teringat dengan sahabatnya Fira yang pernah diceritakan kepada teman barunya, namanya adalah Farah.
“Hey … aku Farah …?
“Oh … ya … aku Husna”
“Hay … kamu kenapa? Ko’ murung githu?”
“Eh … nggak, nggak ada apa-apa kok.”
“Kamu jangan bohong, pasti ada sesuatu. Kamu cerita saja sama aku, aku bukan tipe orang yang ember kok”
“Ah … kamu bisa aja”
Dengan adanya Farah, hati Husna mulai tenang dan tidak menjadi seorang pemurung lagi. Hingga saat itulah Farah dan Husna berteman akrab karena mereka berada di satu kelas bahkan satu bangku.

“The End”

KASIH TAK TERLERAI

KASIH TAK TERLERAI
Oleh: Lailatul Rosyidah (siswi MAN Keboan)
Disuatu desa terdapat sebuah keluarga yang keadaan okonominya masih tergolong dalam standar sederhana. Keluarga tersebut seakan tidak rela jika ada waktu tanpa adanya pekerjaan. Semua waktu mereka selalu dibelenggu dengan pekerjaan yang melilit kehidupan mereka, bahkan hampir tiada waktu untuk menyenangkan hati mereka sendiri.
Asti widya sari, siswa kelas sebelas Madrasah Aliyah Negri yang kian merasakan kegerahan hati karena nasib yang ia rasakan saat ini. Duduk termenung di dalam ruangan petak yang dihiasi lampu kuning sepuluh watt, merenungi nasib yang menimpanya saat ini, tergolek lemas menyandarkan tubuhnya di samping meja belajar yang senantiasa menemaninya. Sering kali terlintas di hatinya akan semangat menggebu untuk merubah nasibnya yang seperti ia rasakan saat ini. Tapi terkadang rasa putus asa menghalangi angan-angannya. Tertulis seucap doa dalam buku diarynya…….
“Ya Allah……. Akankan hidup hamba-Mu selalu seperti ini Ya Allah….?? Selalu dirundung rasa kurang mampu……. Apakah hambamu ini selalu kurang puas akan kasih sayang orang tua hamba ini Ya Allah…..???.
Tak terasa butiran- butiran hangat membasahi pipi mungilnya hingga tetesan air mata lugunya sampai jatuh mmbasahi diarynya. Di lain waktu ia berusaha menepisnya dengan kata-kata penyemangat yang sengaja ia buat sendiri untuk menenangkan hatinya.
“Hmm…….. Asti…. Jangan cengeng gini dong…. Kamu harus kuat menghadapi semua ini, anggap saja semua ini adalah ujian untuk kamu……”
Sungguh berat dirasa…….. memang Asti adalah anak orang yang sederhana, tapi rasa manja terhadap orang tua, terutama pada ibunya amatlah besar. Bahkan ia sering kali tak rela perhatian ibunya berpaling pada orang lain meskipun itu keponakannya sendiri.
Bu Hasanah adalah ibu Asti yang sehari – harinya bekerja sebagai penjual di sebuah toko, beliau juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehingga tak banyak waktu beliau barcanda gurau bersama Asti . Asti adalah anak tunggal dalam keluarganya. Pak Dhani, ayah Asti bekerja sebagai karyawan pada sebuah pabrik yang pulang satu bulan sekali.
Suatu hari Asti membantu ibunya untuk memasak. Kemudian sang ibu berkata
“Asti…… majikan ibu memerlukan seseorang yang bisa mengajari anaknya dalam belajar dirumah, anaknya masih SD, jadi kamu pasti tidak merasa kesulitan karenanya. Nah sekarang tinggal kamu saja mau apa tidak…???”.
“Asti sih mau –mau saja bu…..”
Tapi dalam hati Asti penuh pengharapan bahwa dengan ia membantu ibunya bekerja disana, ibunya bisa lebih mempunyai waktu luang untuk mereka. Tapi angan-angan Asti terputus dengan……………
“Dan juga, mungkin kalau kamu menyetujuinya, mbak Dilla, anak majikan ibu itu akan kesini sore ini juga…… dan mungkin akan tinggal disini untuk sementara waktu dalam menghadapi semester tahun ini.”
“Ha…….??? Apa bu………..????”.
“iya…… nanti biar ibu bilang sama majikan ibu sore ini juga.”
Hati Asti seakan luntur tak tersisa……. Dangan cepat ia segera menyelesaikan pekerjaan yang ia lakukan tadi dan langsung bergegas ke kamarnya. Hanya sehelai sapu tangan pemberian ibunya dan buku diarynyalah yang menjadi sahabat setianya. Kembali ia menulis isi hatinya.
“Ya Allah…….. pupus sudah harapanku untuk mengembalikan kasih sayang ibu kepada kami yang akhir – akhir ini sempat pudar. Tapi…….. apa jadinya………??? Malah harus ada orang lain di tengah-tengah keluarga kami……. Memang kami ingin mencari nafkah yang halal, tapi bukan begini caranya ya Allah……. Haruskah kami menggadaikan kasih sayang kami yang kian lama kami rakit bersama…… Haruskah Ya Allah……. Haruskah………???”
Tetesan air mata semakin deras dan tak kuasa ia menahannya. Kesedihan yang begitu mendalam yang tengah ia rasakan hari ini….. seakan ia tak kuasa menerima beban seberat ini. Tapi apalah daya, hanya tangisan yang dapat ia lampiaskan. Ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kebahagiaan ibunya adalah nomor satu baginya. Biarlah beban ini ia tanggung asal adik dan ibunya masih dpat merasakan kebahagiaan yang terselimuti dalamnya duka yang ia rasakan.
Sore kian larut, seorang gadis yang mereka tunggu tiba. Dengan sangat berat ia harus memperlihatkan senyuman diwajahnya. Ternyata, bukan hanya suatu kesedihan, tapi juga rasa khawatir melihat kasih sayang ibunya kepada gadis itu.
Hari demi hari terlewati. Setiap malam ia marasa sepi tanpa ada yang mengisi ruang hatinya. Hanya sapu tangan pemberian ibunya yang ia perhatikan. Sesaat kemudian Dilla menghampirinya.“Mbak…….. sedang apa ? kok disini sendiri ?”.
“Oh….. nggak…., aku Cuma ingin sendiri saja.”
“tapi kok mbak nangis…… mbak nangis karena kehadiranku disini ya…..?.”
“Nggak kok….. mbak cuma ada sedikit masalah saja.”
“O…… udah mbak….. jangan nangis, kata bu guru, masalah itu tidak dapat diselesaikan dengan tangisan, tapi harus ada usaha untuk menyelesaikannya.”
“Iya….. aku tau kok, udah….. sekarang ambil bukunya, belajarnya sekarang saja ya….. soalnya nanti malam mbak banyak tugas.”
Setiap hari itulah aktivitas rutin mereka, hingga hati Asti terbuka bahwa sebenarnya Dilla itu anak yang baik. Tak sepantasnya ia berprasangka buruk seperti itu. Hari haripun berlalu, semakin Asti mengenal gadis kecil itu, semakin ia menganggapnya sebagai adiknya sendiri. Hingga pada sore itu
“Mbak…… kyaknya tadi ada yang nyari’in deh…….”
“Mencariku ? siapa ?
“Nggak tau, tapi kalau nggak salah dengar namanya Arfa. Hayo……siapa tuh……….??” Pacarnya ya mbak……?.
“Ach…… bukan, apa sih……. Sok tau bangetz….”
“Alah……. Ngaku aja mbak, ntar kalau nggak ngaku, aku ambil lo pacarnya…..”
“Apaan sih……….. masih kecil juga.”“Tuh…. Kan, wajahnya merah gitu.”
Hingga mereka bercanda bahagia. Asti merasakan bahwa hatinya tidak keberatan lagi atas kehadiran Dilla di keluarganya. Bahkan dimanapun Asti berada pasti ada Dilla disana. Akhirnya dengan berjalannya waktu, Asti dapat menerima kehadiran Dilla dalam keluarganya. Dilla juga demikian, ia tidak ingin kebersamaan dengan Asti dipisah karena berjalannya waktu. Mereka berdua sangat kompak dalam bertindak dan tiada lagi oerasaan sepi dalam hari – hari mereka.

TETESAN AIR DARI SURGA

TETESAN AIR DARI SURGA
Oleh : Lailatul Rosyidah
Terik mentari yang gersang menghiasi siang yang cerah pada hari ini. Pembelajaran di sekolagh telah berakhir, jam menunjukkan pukul 13.10. Terhenyak pikiran mengingat Yang Maha Agung.
“Alhamdulillah Ya Allah…. UTS ku telah usai, terima kasih atas segala nikmat-Mu Ya Rabb.”
Terngiang di kepala Doni untuk segera pulang, tapi panasnya amtahari seolah menjadi baban baginya untuk melangkah. Akhirnya ia memutuskan untuk sholat di masjid depans ekolah terlebih dahulu.
Tali sepatu telah terlepas dari tempatnya, perlahan melangkah, berjalan melintasi tiang-tiang raksasa menghiasi teras rumah Allah, terlihat papan berjejer-jejer seolah menjadi pembatas antara makhluk-makhluk Allah. Dengans egera ia mengambil air wudlu dan kembali untuk sholat.
Dengan khusyuk dan bersahaja ia memohon kepada Sang Khalik. Hanya berkah dan ridla-Nya yang ia harapkan. Kasih sayangnya bagaikan surga dunia yang didapat. Senandung-senandung dzikir senantiasa mengalun di bibir mungilnya, tak ada yang dapat ia pikirkan kecuali keagungan-Nya lah yang menjadi pelita dalam hidup semua makhluk. Terucap lirih……….
“Ya Allah Ya Rahman…. Hanya limpahan kasih Mu yang kuharapkan…. Meskipun aku hanya hidup sebatang kara, aku akan tetapmencari ilmu-Mu Ya Allah…. Oleh karena itu, ridlailah niatku ini. Amin.”
Segera Doni bergegas untuk pulang menempuh perjalanan 2 km dengan berjalan kaki menjadi aktifitas sehari-harinya. Semangatnya sungguh besar, hanya bermodalkan keikhlasan ia melangkahkan kaki dalam menuntut ilmu.
Panas amtahari menusuk hingga tulang, perlahan-lahan menghiasi gemuruh hatinya yang tak karuan. Keringat bercufuran, kerongkongan kering menjadi saksi perjalanan hidupnya.
Di perjalanan ia melihat penjual cendol keliling. Ia berfikir mungkin cendol ini dapat menambah semangat dalam perjalanan. Kemudian ia merogoh uang dalam sakunya yang hanya 500 rupiah.
“Alhamdulillah………ternyata uang yang kemarin masih ada.”
Ketika Doni akan meneguk sekantung plastik minuman itu, seorang nenek tua tertatih-tatih dalam jalannya menghampiri Doni dengan penuh harapan agar Doni dapat membagikanminuman tersebut kepada nenek tua. Tanpa berfikir panjang, Doni memberikannya.
“Ini Nek, saya punya minuman sedikit. Mungkin nenek lebih membutuhkannya.”
“Terima kasih nak…. Kamu baik sekali, pasti semua orang membutuhkanmu.”
Kemudian Doni meneruskan perjalanan dengan kerongkongan yang tandus seperti sebelumnya. Tapi ia tetap bahagia karena setidaknya ia lebih beruntung dari pada nenek tua tadi. Setelah ia rasa cukup lelah dalam perjalanannya ia berteduh di bawah pohon di atas bukit yang biasa ia buat berteduh setiap hari. Dengan pikiran dan hayalan yang bercampur aduk menghiasi hatinya.
“Andai saja kelak bisa menjadi seperti Haji Ihsan…. Subhanallah….”
Haji Ihsan adalah orang yang membantu Doni. Setiap hari Doni cukup memberi makan ternak beliau. Sebagai gantinya Doni bisa bersekolah, ia juga tinggal di kamar belakang rumah haji Ihsan.
Tanpa ia sadari sesosok anak kecil penjual minuman keliling menghampirinya sambil memberikan minuman.
“Hai Kak…….. apakah kamu haus?”
“Oh….tidak, terima kasih. Saya tidak punya uang.”
“Tidak apa-apa Kak….daganganku sudah habis, ini tinggal sisanya dua untuk kita.”
“Terima kasih, kamu baru pulang sekolah?” tanya Doni sambil meneguk air mineral tadi.
“Saya tidak sekolah, saya harus membentu nenek saya yang sudah tua.”
Terhenyak Doni berpikir betapa beruntungnya ia dalam kehidupannya. Tanpa ia sadari masih banyak orang yang menderita dari pada dia.
“Dek…….rumahmu…..”
Ternyata dia sudah pergi entah ke mana. Doni terrenyuh…. “Apakah ini adalah tetasan air yang Engkau berikan dari surga?”
“Alhamdulillah……….”
Dengan penuh semangat Doni bergegas melanjutkan perjalanannya untuk pulang dan meladang. Ia merasa bahwa Allah senantiasa menyertai orang-orang yang sayang pada-Nya.


"cerpen ini telah dimuat di MPA pada bulan Februari edisi 293"